Pengalaman Kuliah | Sebuah kisah tentang upaya berwiraswasta untuk mendirikan sebuah resort kecil di Bandung
Posted: Kamis, 18 Maret 2010 by Handy Suberlin in Label: Pengalaman Kuliah
0
“Sebuah kisah tentang upaya berwiraswasta untuk mendirikan
sebuah resort kecil di Bandung”
ditulis oleh Woro Anjokrowati
Memilih ITB untuk meninggalkan Surabaya
Aku menyelesaikan pendidikan dasar (SD, SMP & SMA) di sekolah Katolik Santa Maria, Surabaya karena menurut kedua orang tuaku, sekolah tersebut lebih disiplin dan juga lokasinya dekat dengan rumah. Selama12 tahun, rute perjalananku sama dari hari kehari, betapa membosankan. Prestasiku selama 12 tahun itupun juga biasa-biasa saja, tidak pernah masuk ranking.
Parahnya aku juga tidak suka pelajaran Kimia, karena tidak tahu aplikasinya, dan juga pelajaran Biologi karena menurut aku terlalu banyak hafalan. Pelajaran yang aku sukai adalah pelajaran Stereometri karena kita dapat
membayangkan sesuatu secara 3 dimensi.
Oleh karena hal-hal tersebut aku mencari sekolah yang dasarnya Stereometri dan sedapat mungkin
tidak ada pelajaran Kimia dan Biologi. Aku sudah terbayang untuk kuliah di jurusan Arsitektur
yang banyak memerlukan kemampuan Stereometri. Dengan adanya program ujian bersama untuk 5
Universitas – Sekertariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU), maka terbuka kemungkinan
untuk mencari sekolah yang aku mau tanpa harus meninggalkan Surabaya untuk ikut test. Tetapi
karena SKALU merupakan program uji-coba, maka akupun mengikuti test di sekolah lain seperti di
ITS, Universitas Brawijaya dengan memilih jurusan yang kira-kira tidak ada pelajaran Kimia dan
Biologi.
Alhamdulilah aku diterima di Jurusan Arsitektur ITS dan sempat menjalani masa Orientasi Studi
(OS) disitu. Setelah selesai OS barulah aku mendapat panggilan dari ITB. Tetapi kemudian aku
lebih memilih ITB, sehingga otomatis nomer mahasiswaku juga paling akhir (1200). Aku ingin
kabur dari ITS hanya karena lokasi Jurusan Arsitektur ITS berdekatan dengan sekolah Santa Maria
yang sangat membosankan bagi diriku..
Kuliah sambil menjelajah bukit dan pantai
Tidak seperti yang kubayangkan, ternyata di ITB aku masih harus berurusan dengan pelajaran
Kimia dan Biologi, dan juga masih harus bersaing untuk masuk ke Jurusan pilihan. Tetapi aku tidak
merasa harus bersaing, karena selama Tingkat Pertama Bersama (TPB), aku tidak bergabung
dengan teman-teman dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), melainkan kesasar di
Fakultas Teknologi Industri (FTI). Sehingga masa-masa Matrikulasi dan TPB merupakan masa-
masa ‘hura-hura’ dengan sedikit kuliah tetapi banyak kegiatan himpunan. Aku tentu saja bergabung
dengan teman-teman dari seluruh pelosok Indonesia, terutama pada masa-masa tentara menduduki
kampus di tahun 1978.
Akhirnya aku masuk juga di jurusan Arsitektur dengan Nomer mahasiswa terakhir yaitu no 046.
Masa-masa kuliahku juga biasa-biasa saja, dengan nilai yang biasa-biasa juga. Tetapi bersama
teman-teman satu jurusan, yang dimotori oleh Agus Prabowo, kami sering meluangkan waktu untuk
menjelajah bukit dan pantai yang ada di Jawa Barat pada waktu liburan. Perginya selalu beramai-
ramai termasuk dengan “bekas pacar” alias suamiku yang sekarang. Sampai tidak sadar waktu itu
akhirnya aku dan suamiku ternyata akhirnya serius berpacaran.
Teringat pesan Rektor saat lulus dari ITB dan memulai karier di PT Habitat
Satu pesan dari rektor yang kuingat sampai saat ini adalah “Kalau kalian sudah lulus, diharapkan
bisa membuka peluang kerja untuk orang lain”. Untuk menuju kearah sana, ternyata tidaklah
mudah, karena setelah luluspun aku merasa belum menjadi sarjana siap bekerja untuk pihak lain apalagi membuka peluang kerja untuk pihak lain. Tidak ada pengalaman teknis dasar dalam proses
pembuatan sebuah bangunan dari lahan kosong sampai bangunan beroperasi yang diajarkan di
kuliah. Untuk itu aku sengaja mengambil cuti kuliah setahun untuk magang disebuah perusahaan
konsultan bernama PT. Habitat’76, sebuah anak perusahaan PT Propelat yang berinduk ke
Pertamina.
Setelah lulus tentu saja aku harus sudah lepas dari beban orang tua. Langkah ini merupakan suatu
langkah awal yang tidak mudah. Beruntung aku diajak ikut lagi bergabung dengan PT. Habitat’76
dengan lingkup tugas macam-macam. Resminya sebagai ‘Junior Architect’ tetapi prakteknya
kadang-kadang aku jadi surveyor, drafter, pengawas lapangan sampai tukang ketik dan tukang
hitung (quantity surveyor). Tentu saja aku senang sekali karena banyak ilmu yang aku dapat
dilapangan yang tidak diajarkan disekolah. Terlebih lagi, Bapak Sunaryo Danumihardja sebagai
direktur utama, tidak segan-segan membimbing aku bagaimana menghadapi klien dan menghadapi
para pekerja (tukang).
Aku banyak belajar dari para tukang, bagaimana memasang bata merah,
membuat beton, mengolah kayu dll sebagai unsur mendirikan bangunan.
Proyek dimana aku ikut terlibat juga bukan proyek bangunan bertingkat,
tetapi kompleks pembangunan Sekolah Dasar di daerah Indramayu,
Tasikmalaya dll. Juga penataan kompleks cagar alam Pangandaran,
Tangkuban Perahu, Telaga Bodas, Papandayan, Kamojang dll,
Mulai berwiraswasta dengan mendirikan perusahaan
Bersama suami dan teman-teman kami mencoba berwiraswasta dalam
rangka mewujudkan keinginan memberi peluang kerja kepada pihak
lain. Bidang yang kami pilih juga tidak jauh-jauh dari ilmu yang kita dapat disekolah dan
pengalaman magang yaitu Arsitektur ditambah dengan pekerjaan interior decoration. Jangan
dibayangkan kami membuat perusahaan besar, tapi sangat-sangat kecil dengan karyawan awal
hanya 5 orang termasuk pemilik, direktur dan office boy. Kami kelola dengan sangat konvensional,
modal patungan tanpa bantuan bank yang waktu itu memang sangat-sangat sulit.
Kami juga tidak memilih proyek, apapun yang bisa kami kerjakan kami kerjakan. Pekerjaan awal
yang kami kerjakan hanya mengecat sebuah pintu, menambal langit-langit sampai membuat
bangunan lengkap dengan interiornya. Karena bekerja dengan suami, kami selalu kemana-mana
berdua. Teman-teman berkomentar bahwa kami seperti kembar siam saja. Alhamdullilah kami bisa
bertahan ditengah serbuan gelombang krisis mobeter, kenaikan BBM dan lain-lain. Sampai saat ini
kami bisa memberi peluang kerja ke sekitar 50 orang saja. Boleh dibilang merekalah pendukung
setia kami, tanpa mereka perusahaanpun tidak akan bertahan. Aku harap semoga dimasa-masa yang
akan datang kami bisa meningkatkan pasukan .
Membuka Taman Bacaan B & B
Semua anggota keluarga kami suka membaca. Suamiku biasanya membaca buku-buku berbau ilmu
pengetahuan. Aku suka membaca novel dan anak-anak suka membaca komik. Sehingga
pengeluaran untuk membeli buku rasanya lebih banyak dari pada untuk makan. Akibatnya koleksi
buku kami sampai ribuan dan menurutku kalau hanya untuk koleksi keluarga sendiri juga mubazir.
Disamping itu untuk menambah koleksi buku baru juga perlu dana semakin besar karena buku
sekarang juga semakin mahal. Disekeliling tempat tinggalku juga banyak masyarakat menengah
kebawah yang kebutuhan membeli buku mungkin ada diprioritas no. 10.
Tahun 2002 timbullah ide untuk membuka taman bacaan dengan sewa yang murah yaitu rata-rata
Rp. 500,- per buku untuk 3 hari. Pemasukan dana dari sewa kami gunakan untuk menambah koleksi
buku dan juga mendidik anak-anak paling tidak jadi suka membaca dan disiplin dalam
pengembaliannya. Maka jadilah garasi kami merangkap menjadi Taman Bacaan dan kami beri
nama B & B, yang merupakan singkatan nama kedua anak kami Bayu & Bondan.
Karena aku tidak punya latar belakang pengurusan sebuah perpustakaan dan kami tidak mungkin
menggaji pegawai untuk mengurus taman bacaan tersebut maka aku buat pengoperasiannyapun
sesederhana mungkin sehingga semua anggota keluarga termasuk pembantu harus bisa
mengoperasikannya. Jadi kadang-kadang sambil masakpun aku atau pembantu bisa melayani anak-
anak yang akan meminjam buku ataupun bila mereka hanya ingin membaca ditempat.
Alhamdullilah sampai sekarang anggotannya sudah mencapai 1200 orang dengan koleksi buku
sekitar 9000 buah. Kami mengandalkan kejujuran anak-anak, yang ternyata susah juga, karena pada
sampai sekarang sudah sekitar 1000 buku yang hilang.
Keinginanku sebenarnya mau buat taman bacaan yang benar-benar anggotanya membaca ditempat
sambil diskusi, bukan hanya buku-buku hiburan tetapi juga buku-buku pengetahuan, ini untuk
meminimalis buku yang hilang, tapi untuk saat ini hal tersebut baru sebatas khayalan , seperti biasa
masalahnya cuma aku belum punya dana berlebih untuk membeli buku-buku baru .
Dikira membuat candi
Seorang teman suamiku, pak Prabowo, bekerja disebuah BUMN menjelang Pensiun ingin mengisi
kegiatan sesudah pensiun. Beliau mengajak kami membuat semacam rumah sederhana dengan
kavling tidak terlalu besar untuk kemudian dijual lagi. Sehingga kami mulai mencari tanah yang
masih dekat dengan kota, mempunyai “view” (pemandangan) yang cukup baik tetapi harga yang
tidak terlalu mahal untuk mewujudkannya. Jadilah kami patungan membeli sebuah kavling seluas
1000 m2. didaerah Padasuka yang masih mudah
pencapaiannya dari pusat kota Bandung.
Rencananya tanah tersebut dibagi kavling-kavling
kecil minimum 3 bagian. Sehingga masing-masing
kavling luasnya sekitar 300 m2 dan diurus
legalitasnya. Setelah urusan kavling sudah beres,
selanjutnya adalah pengolahan lahan dan
bangunannya. Pelaksanaan ini menurut kami cukup
sulit. Selain masalah teknis juga masalah biaya.
Lahannya sendiri miring dengan selisih sekitar 7
meter antara jalan dan batas tanah belakang.
Sehingga perlu pengolahan tanah dan pembuatan dinding penahan tanah yang memakai batu kali.
Pembuatan dinding ini perlu waktu 1 tahun karena hanya dikerjakan oleh 2 orang tukang. Teman-
teman mungkin bertanya, mengapa hanya memakai 2 tukang, bukannya kalau tukang lebih banyak
maka pekerjaan cepat selesai ?. Karena kami hanya kuat membayar upah 2 orang tukang, itupun
kami harus sisihkan dari anggaran belanja rumah tangga.
Saking lamanya sampai ada ‘joke”, kalau kami akan membuat candi batu. Akhirnya selesai juga
”candi” nya, tinggal bangunannya. Timbul lagi masalah untuk pembuatan bangunannya, seperti
biasa kendalanya adalah dana. maka kami punya prinsip “Timbang Tuku” (dari pada beli) atau
sesedikit mungkin membeli material baru.
Mulailah kami mencari barang-barang sisa yang bisa dimanfaatkan, mulai dari rumah penduduk di
Brebes/ Ketanggungan yang mau dibongkar sampai material sisa proyek. Kami bangun bertahap
dengan banguan-bangunan kecil/cluster ( 4 x 4 m2 ) sebanyak 7 buah yang akhirnya kami satukan
dengan ruang-ruang terbuka/tanpa dinding tetapi beratap yang didominasi material kayu.
Bangunan kecil-kecil dibuat sampai ‘finish’, dimaksudkan supaya meskipun dana pembangunan
bertahap tetapi tiap bangunan sudah terlihat ‘finish’ dan siap dipakai. Akhirnya setelah 2 tahun
bangunan selesai juga. Seperti biasa karena sudah familier dengan rumah yang dibangun, akhirnya
ide awal mau dijual per kapling jadi terlupakan.
Mempunyai idea membuat Bed & Breakfast
Suatu waktu kami ke Ambarawa, kesebuah resort
cantik ditengah perkebunan kopi (Losari Coffee
Plantation). Setelah melihat keadaan resort tersebut
maka kami memberanikan diri untuk menjadikan
rumah kami seperti resort tersebut, tapi dalam
bentuk mini dengan suasana berbeda dari hotel
pada umumnya. Kebetulan juga banyak teman dan
saudara yang kesulitan mendapatkan hotel pada
saat akhir pekan terutama kalau perginya
berombongan untuk ber”family gathering “.
Mulailah kami membenahi fasilitas-fasilitasnya, kamar tidurnya (ada 4 kamar) kami usahakan
uang keluarga kami buat semacam dining hall
arena lahannya tidak mencukupi
ingung beri nama akhirnya n’deZzo
minimal seperti layaknya sebuah hotel dengan kamar mandi didalam (lengkap dengan air panas ) &
tv. Ada kamar yang sebagian berlantai kaca karena dibawahnya ada kolam ikan sehingga kita bisa
melihat ikan berenang dari dalam kamar & ada kamar yang kalau kita membuka jendela kita dapat
mengintip sebagian kota Bandung.
R
terbuka, ruang tamu dimanfaatkan sebagai mini café,
ruang duduk dapat dipergunakan sebagai musholla atau
panggung ‘life music’.
K
untuk membuat sebuah kolam renang,
maka kami membuat sebuah ‘jacuzzi’
lengkap dengan ruang santai/pijat
B
i
a ndeso yang
onsep pelayanannya sendiri adalah sebagaimana yang dikenal sebagai semacam homestay atau
ngung memberi nama. Suasana yang i Setelah seluruh bangunan jadi, kamipun b ngin dibangun
adalah suasana desa dan akhirnya kami memberi nama n’deZzo, berasal dari kat
artinya desa atau kampungan dimana huruf “s” kami ganti dengan “Zz” yang kalau di komik-komik
itu menggambarkan orang yang sedang tidur nyenyak. Dengan harapan orang yang menginap di
n’deZzo bisa tidur dengan nyenyak..
K
lebih tepatnya ‘Bed & Breakfast’. Tamu dianggap layaknya sebagai keluarga, dengan pelayanan
minimal lebih ke ‘self service’. Kami sediakan peralatan masak dan peralatan makan sehingga tamu
dapat melakukan acara misalnya barbeque sendiri.
Dalam pengelolaannyapun kami merasa belum cukup professional, maklumlah kami tidak ada
enjadi tempat peristirahatan multi-fungsi
background untuk itu. Saya dan suami sama-sama arsitek alumni angkatan 1976. Tetapi kami
berprinsip paling tidak tempat tersebut minimal dapat menghidupi diri sendiri, dalam arti untuk
operasional dan pemeliharaannya tidak perlu mengambil dana dapur.rumah tangga. Jadi tentu saja
kami tidak menyiapkan anggaran untuk promosi layaknya sebuah penginapan.
M
rt’ kecil kami sendiri, dibantu
amatiran.
arena tidak ada anggaran untuk promosi, maka setiap hari Minggu pagi kami berjualan “nasi
embuat waktu serasa berhenti
Jadilah aku bersama suami mengelola ‘reso
adikku dan seorang yang asalnya pembantu tukang waktu proses
pembangunan. Ia sekarang dia merangkap sebagai roomboy, pembantu koki
dan tukang kebun. Kami bekerja bahu-membahu, tugasku adalah menjadi
koki dan mengatur pernak-pernik resort, mulai dari perlengkapan kamar,
kamar mandi sampai dengan beramah-tamah dengan pengunjung. Suamiku
mengurus dekorasi dan mengecek kebersihan resort dan tentu saja
bercengkerama dengan pengunjung kalau diperlukan bisa menjadi pemain organ
K
kucing”. Ini adalah jenis makanan istilah di Solo dan Yogya untuk nasi yang harganya sangat murah
seharga Rp. 2.500,-, yang ternyata cukup ampuh untuk sarana memperkenalkan fasilitas yang ada.
Kami juga bersilahturahmi dengan tetangga sekitar dengan prinsip “gethok tular” (promosi) dari
mulut ke mulut. Karena kami tidak memakai media promosi biasa, melalui iklan, jadinya memang
banyak yang penasaran ingin melihat bagian dalam n’deZzo. Tapi mereka sungkan atau segan kalau
mau masuk, sehingga dengan sarana “ nasi kucing” interaksi dengan masyarakat umum bisa terjadi.
Sebagai gambaran, biaya yang harus dikeluarkan tamu umum juga cukup murah, hanya Rp 1,2 juta
per malam. Harga untuk 4 kamar dan seluruh fasilitas yang ada atau hanya sekitar Rp. 300.000 per
kamar. Sedangkan untuk teman-teman, sahabat dan saudara cukup mengisi kencleng saja.
M
dipakai untuk pertemuan keluarga, acara ulang tahun, arisan
alah satu bangunan yang difungsikan sebagai café,
Sabtu dan malam Minggu menjadi acara refr
entang penulis (redaksi)
Sampai saat ini n’deZzo sering
keluarga, rapat-rapat perusahaan, pelatihan, perpisahan murid-murid SMA, bahkan tempat
berkumpulnya keluarga pengantin/besan. Jika sedang tidak ada tamu, kadang-kadang malam
Minggu dimanfaatkan untuk silaturahmi dengan
tetangga sambil bermain keroncong. Mereka bilang
waktu serasa berhenti ditempat ini, bila sambil
mendendangkan langgam-langgam keroncong.
S
buka hanya pada malam Sabtu dan malam Minggu
saja, karena terbatasnya tenaga.karena hari-hari lain
kembali ke profesi asal. Menu yang ada di cafe adalah
menu yang mudah untuk disajikan seperti steak,
spaghetti, nasi goreng, cream soup, minuman dingin
dan panas. Walaupun belum menggembirakan jumlah
pengunjungnya, tapi acara “jaga warung” di malam
eshing buat aku dan suamiku
T
lumni Jurusan Arsitektur. Ia lebih akrab dipanggil dengan nama Woro.
Ia menikah dengan Iman Syahadat dan dikaruniai 2 putra Bayu & Bondan. Saat menuliskan kisah
ini, Woro menjabat sebagai direktur PT Rekagriya Multikarya.
Woro Anjokrowati adalah a
Aku menyelesaikan pendidikan dasar (SD, SMP & SMA) di sekolah Katolik Santa Maria, Surabaya karena menurut kedua orang tuaku, sekolah tersebut lebih disiplin dan juga lokasinya dekat dengan rumah. Selama12 tahun, rute perjalananku sama dari hari kehari, betapa membosankan. Prestasiku selama 12 tahun itupun juga biasa-biasa saja, tidak pernah masuk ranking.
Parahnya aku juga tidak suka pelajaran Kimia, karena tidak tahu aplikasinya, dan juga pelajaran Biologi karena menurut aku terlalu banyak hafalan. Pelajaran yang aku sukai adalah pelajaran Stereometri karena kita dapat
membayangkan sesuatu secara 3 dimensi.
Oleh karena hal-hal tersebut aku mencari sekolah yang dasarnya Stereometri dan sedapat mungkin
tidak ada pelajaran Kimia dan Biologi. Aku sudah terbayang untuk kuliah di jurusan Arsitektur
yang banyak memerlukan kemampuan Stereometri. Dengan adanya program ujian bersama untuk 5
Universitas – Sekertariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU), maka terbuka kemungkinan
untuk mencari sekolah yang aku mau tanpa harus meninggalkan Surabaya untuk ikut test. Tetapi
karena SKALU merupakan program uji-coba, maka akupun mengikuti test di sekolah lain seperti di
ITS, Universitas Brawijaya dengan memilih jurusan yang kira-kira tidak ada pelajaran Kimia dan
Biologi.
Alhamdulilah aku diterima di Jurusan Arsitektur ITS dan sempat menjalani masa Orientasi Studi
(OS) disitu. Setelah selesai OS barulah aku mendapat panggilan dari ITB. Tetapi kemudian aku
lebih memilih ITB, sehingga otomatis nomer mahasiswaku juga paling akhir (1200). Aku ingin
kabur dari ITS hanya karena lokasi Jurusan Arsitektur ITS berdekatan dengan sekolah Santa Maria
yang sangat membosankan bagi diriku..
Kuliah sambil menjelajah bukit dan pantai
Tidak seperti yang kubayangkan, ternyata di ITB aku masih harus berurusan dengan pelajaran
Kimia dan Biologi, dan juga masih harus bersaing untuk masuk ke Jurusan pilihan. Tetapi aku tidak
merasa harus bersaing, karena selama Tingkat Pertama Bersama (TPB), aku tidak bergabung
dengan teman-teman dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), melainkan kesasar di
Fakultas Teknologi Industri (FTI). Sehingga masa-masa Matrikulasi dan TPB merupakan masa-
masa ‘hura-hura’ dengan sedikit kuliah tetapi banyak kegiatan himpunan. Aku tentu saja bergabung
dengan teman-teman dari seluruh pelosok Indonesia, terutama pada masa-masa tentara menduduki
kampus di tahun 1978.
Akhirnya aku masuk juga di jurusan Arsitektur dengan Nomer mahasiswa terakhir yaitu no 046.
Masa-masa kuliahku juga biasa-biasa saja, dengan nilai yang biasa-biasa juga. Tetapi bersama
teman-teman satu jurusan, yang dimotori oleh Agus Prabowo, kami sering meluangkan waktu untuk
menjelajah bukit dan pantai yang ada di Jawa Barat pada waktu liburan. Perginya selalu beramai-
ramai termasuk dengan “bekas pacar” alias suamiku yang sekarang. Sampai tidak sadar waktu itu
akhirnya aku dan suamiku ternyata akhirnya serius berpacaran.
Teringat pesan Rektor saat lulus dari ITB dan memulai karier di PT Habitat
Satu pesan dari rektor yang kuingat sampai saat ini adalah “Kalau kalian sudah lulus, diharapkan
bisa membuka peluang kerja untuk orang lain”. Untuk menuju kearah sana, ternyata tidaklah
mudah, karena setelah luluspun aku merasa belum menjadi sarjana siap bekerja untuk pihak lain apalagi membuka peluang kerja untuk pihak lain. Tidak ada pengalaman teknis dasar dalam proses
pembuatan sebuah bangunan dari lahan kosong sampai bangunan beroperasi yang diajarkan di
kuliah. Untuk itu aku sengaja mengambil cuti kuliah setahun untuk magang disebuah perusahaan
konsultan bernama PT. Habitat’76, sebuah anak perusahaan PT Propelat yang berinduk ke
Pertamina.
Setelah lulus tentu saja aku harus sudah lepas dari beban orang tua. Langkah ini merupakan suatu
langkah awal yang tidak mudah. Beruntung aku diajak ikut lagi bergabung dengan PT. Habitat’76
dengan lingkup tugas macam-macam. Resminya sebagai ‘Junior Architect’ tetapi prakteknya
kadang-kadang aku jadi surveyor, drafter, pengawas lapangan sampai tukang ketik dan tukang
hitung (quantity surveyor). Tentu saja aku senang sekali karena banyak ilmu yang aku dapat
dilapangan yang tidak diajarkan disekolah. Terlebih lagi, Bapak Sunaryo Danumihardja sebagai
direktur utama, tidak segan-segan membimbing aku bagaimana menghadapi klien dan menghadapi
para pekerja (tukang).
Aku banyak belajar dari para tukang, bagaimana memasang bata merah,
membuat beton, mengolah kayu dll sebagai unsur mendirikan bangunan.
Proyek dimana aku ikut terlibat juga bukan proyek bangunan bertingkat,
tetapi kompleks pembangunan Sekolah Dasar di daerah Indramayu,
Tasikmalaya dll. Juga penataan kompleks cagar alam Pangandaran,
Tangkuban Perahu, Telaga Bodas, Papandayan, Kamojang dll,
Mulai berwiraswasta dengan mendirikan perusahaan
Bersama suami dan teman-teman kami mencoba berwiraswasta dalam
rangka mewujudkan keinginan memberi peluang kerja kepada pihak
lain. Bidang yang kami pilih juga tidak jauh-jauh dari ilmu yang kita dapat disekolah dan
pengalaman magang yaitu Arsitektur ditambah dengan pekerjaan interior decoration. Jangan
dibayangkan kami membuat perusahaan besar, tapi sangat-sangat kecil dengan karyawan awal
hanya 5 orang termasuk pemilik, direktur dan office boy. Kami kelola dengan sangat konvensional,
modal patungan tanpa bantuan bank yang waktu itu memang sangat-sangat sulit.
Kami juga tidak memilih proyek, apapun yang bisa kami kerjakan kami kerjakan. Pekerjaan awal
yang kami kerjakan hanya mengecat sebuah pintu, menambal langit-langit sampai membuat
bangunan lengkap dengan interiornya. Karena bekerja dengan suami, kami selalu kemana-mana
berdua. Teman-teman berkomentar bahwa kami seperti kembar siam saja. Alhamdullilah kami bisa
bertahan ditengah serbuan gelombang krisis mobeter, kenaikan BBM dan lain-lain. Sampai saat ini
kami bisa memberi peluang kerja ke sekitar 50 orang saja. Boleh dibilang merekalah pendukung
setia kami, tanpa mereka perusahaanpun tidak akan bertahan. Aku harap semoga dimasa-masa yang
akan datang kami bisa meningkatkan pasukan .
Membuka Taman Bacaan B & B
Semua anggota keluarga kami suka membaca. Suamiku biasanya membaca buku-buku berbau ilmu
pengetahuan. Aku suka membaca novel dan anak-anak suka membaca komik. Sehingga
pengeluaran untuk membeli buku rasanya lebih banyak dari pada untuk makan. Akibatnya koleksi
buku kami sampai ribuan dan menurutku kalau hanya untuk koleksi keluarga sendiri juga mubazir.
Disamping itu untuk menambah koleksi buku baru juga perlu dana semakin besar karena buku
sekarang juga semakin mahal. Disekeliling tempat tinggalku juga banyak masyarakat menengah
kebawah yang kebutuhan membeli buku mungkin ada diprioritas no. 10.
Tahun 2002 timbullah ide untuk membuka taman bacaan dengan sewa yang murah yaitu rata-rata
Rp. 500,- per buku untuk 3 hari. Pemasukan dana dari sewa kami gunakan untuk menambah koleksi
buku dan juga mendidik anak-anak paling tidak jadi suka membaca dan disiplin dalam
pengembaliannya. Maka jadilah garasi kami merangkap menjadi Taman Bacaan dan kami beri
nama B & B, yang merupakan singkatan nama kedua anak kami Bayu & Bondan.
Karena aku tidak punya latar belakang pengurusan sebuah perpustakaan dan kami tidak mungkin
menggaji pegawai untuk mengurus taman bacaan tersebut maka aku buat pengoperasiannyapun
sesederhana mungkin sehingga semua anggota keluarga termasuk pembantu harus bisa
mengoperasikannya. Jadi kadang-kadang sambil masakpun aku atau pembantu bisa melayani anak-
anak yang akan meminjam buku ataupun bila mereka hanya ingin membaca ditempat.
Alhamdullilah sampai sekarang anggotannya sudah mencapai 1200 orang dengan koleksi buku
sekitar 9000 buah. Kami mengandalkan kejujuran anak-anak, yang ternyata susah juga, karena pada
sampai sekarang sudah sekitar 1000 buku yang hilang.
Keinginanku sebenarnya mau buat taman bacaan yang benar-benar anggotanya membaca ditempat
sambil diskusi, bukan hanya buku-buku hiburan tetapi juga buku-buku pengetahuan, ini untuk
meminimalis buku yang hilang, tapi untuk saat ini hal tersebut baru sebatas khayalan , seperti biasa
masalahnya cuma aku belum punya dana berlebih untuk membeli buku-buku baru .
Dikira membuat candi
Seorang teman suamiku, pak Prabowo, bekerja disebuah BUMN menjelang Pensiun ingin mengisi
kegiatan sesudah pensiun. Beliau mengajak kami membuat semacam rumah sederhana dengan
kavling tidak terlalu besar untuk kemudian dijual lagi. Sehingga kami mulai mencari tanah yang
masih dekat dengan kota, mempunyai “view” (pemandangan) yang cukup baik tetapi harga yang
tidak terlalu mahal untuk mewujudkannya. Jadilah kami patungan membeli sebuah kavling seluas
1000 m2. didaerah Padasuka yang masih mudah
pencapaiannya dari pusat kota Bandung.
Rencananya tanah tersebut dibagi kavling-kavling
kecil minimum 3 bagian. Sehingga masing-masing
kavling luasnya sekitar 300 m2 dan diurus
legalitasnya. Setelah urusan kavling sudah beres,
selanjutnya adalah pengolahan lahan dan
bangunannya. Pelaksanaan ini menurut kami cukup
sulit. Selain masalah teknis juga masalah biaya.
Lahannya sendiri miring dengan selisih sekitar 7
meter antara jalan dan batas tanah belakang.
Sehingga perlu pengolahan tanah dan pembuatan dinding penahan tanah yang memakai batu kali.
Pembuatan dinding ini perlu waktu 1 tahun karena hanya dikerjakan oleh 2 orang tukang. Teman-
teman mungkin bertanya, mengapa hanya memakai 2 tukang, bukannya kalau tukang lebih banyak
maka pekerjaan cepat selesai ?. Karena kami hanya kuat membayar upah 2 orang tukang, itupun
kami harus sisihkan dari anggaran belanja rumah tangga.
Saking lamanya sampai ada ‘joke”, kalau kami akan membuat candi batu. Akhirnya selesai juga
”candi” nya, tinggal bangunannya. Timbul lagi masalah untuk pembuatan bangunannya, seperti
biasa kendalanya adalah dana. maka kami punya prinsip “Timbang Tuku” (dari pada beli) atau
sesedikit mungkin membeli material baru.
Mulailah kami mencari barang-barang sisa yang bisa dimanfaatkan, mulai dari rumah penduduk di
Brebes/ Ketanggungan yang mau dibongkar sampai material sisa proyek. Kami bangun bertahap
dengan banguan-bangunan kecil/cluster ( 4 x 4 m2 ) sebanyak 7 buah yang akhirnya kami satukan
dengan ruang-ruang terbuka/tanpa dinding tetapi beratap yang didominasi material kayu.
Bangunan kecil-kecil dibuat sampai ‘finish’, dimaksudkan supaya meskipun dana pembangunan
bertahap tetapi tiap bangunan sudah terlihat ‘finish’ dan siap dipakai. Akhirnya setelah 2 tahun
bangunan selesai juga. Seperti biasa karena sudah familier dengan rumah yang dibangun, akhirnya
ide awal mau dijual per kapling jadi terlupakan.
Mempunyai idea membuat Bed & Breakfast
Suatu waktu kami ke Ambarawa, kesebuah resort
cantik ditengah perkebunan kopi (Losari Coffee
Plantation). Setelah melihat keadaan resort tersebut
maka kami memberanikan diri untuk menjadikan
rumah kami seperti resort tersebut, tapi dalam
bentuk mini dengan suasana berbeda dari hotel
pada umumnya. Kebetulan juga banyak teman dan
saudara yang kesulitan mendapatkan hotel pada
saat akhir pekan terutama kalau perginya
berombongan untuk ber”family gathering “.
Mulailah kami membenahi fasilitas-fasilitasnya, kamar tidurnya (ada 4 kamar) kami usahakan
uang keluarga kami buat semacam dining hall
arena lahannya tidak mencukupi
ingung beri nama akhirnya n’deZzo
minimal seperti layaknya sebuah hotel dengan kamar mandi didalam (lengkap dengan air panas ) &
tv. Ada kamar yang sebagian berlantai kaca karena dibawahnya ada kolam ikan sehingga kita bisa
melihat ikan berenang dari dalam kamar & ada kamar yang kalau kita membuka jendela kita dapat
mengintip sebagian kota Bandung.
R
terbuka, ruang tamu dimanfaatkan sebagai mini café,
ruang duduk dapat dipergunakan sebagai musholla atau
panggung ‘life music’.
K
untuk membuat sebuah kolam renang,
maka kami membuat sebuah ‘jacuzzi’
lengkap dengan ruang santai/pijat
B
i
a ndeso yang
onsep pelayanannya sendiri adalah sebagaimana yang dikenal sebagai semacam homestay atau
ngung memberi nama. Suasana yang i Setelah seluruh bangunan jadi, kamipun b ngin dibangun
adalah suasana desa dan akhirnya kami memberi nama n’deZzo, berasal dari kat
artinya desa atau kampungan dimana huruf “s” kami ganti dengan “Zz” yang kalau di komik-komik
itu menggambarkan orang yang sedang tidur nyenyak. Dengan harapan orang yang menginap di
n’deZzo bisa tidur dengan nyenyak..
K
lebih tepatnya ‘Bed & Breakfast’. Tamu dianggap layaknya sebagai keluarga, dengan pelayanan
minimal lebih ke ‘self service’. Kami sediakan peralatan masak dan peralatan makan sehingga tamu
dapat melakukan acara misalnya barbeque sendiri.
Dalam pengelolaannyapun kami merasa belum cukup professional, maklumlah kami tidak ada
enjadi tempat peristirahatan multi-fungsi
background untuk itu. Saya dan suami sama-sama arsitek alumni angkatan 1976. Tetapi kami
berprinsip paling tidak tempat tersebut minimal dapat menghidupi diri sendiri, dalam arti untuk
operasional dan pemeliharaannya tidak perlu mengambil dana dapur.rumah tangga. Jadi tentu saja
kami tidak menyiapkan anggaran untuk promosi layaknya sebuah penginapan.
M
rt’ kecil kami sendiri, dibantu
amatiran.
arena tidak ada anggaran untuk promosi, maka setiap hari Minggu pagi kami berjualan “nasi
embuat waktu serasa berhenti
Jadilah aku bersama suami mengelola ‘reso
adikku dan seorang yang asalnya pembantu tukang waktu proses
pembangunan. Ia sekarang dia merangkap sebagai roomboy, pembantu koki
dan tukang kebun. Kami bekerja bahu-membahu, tugasku adalah menjadi
koki dan mengatur pernak-pernik resort, mulai dari perlengkapan kamar,
kamar mandi sampai dengan beramah-tamah dengan pengunjung. Suamiku
mengurus dekorasi dan mengecek kebersihan resort dan tentu saja
bercengkerama dengan pengunjung kalau diperlukan bisa menjadi pemain organ
K
kucing”. Ini adalah jenis makanan istilah di Solo dan Yogya untuk nasi yang harganya sangat murah
seharga Rp. 2.500,-, yang ternyata cukup ampuh untuk sarana memperkenalkan fasilitas yang ada.
Kami juga bersilahturahmi dengan tetangga sekitar dengan prinsip “gethok tular” (promosi) dari
mulut ke mulut. Karena kami tidak memakai media promosi biasa, melalui iklan, jadinya memang
banyak yang penasaran ingin melihat bagian dalam n’deZzo. Tapi mereka sungkan atau segan kalau
mau masuk, sehingga dengan sarana “ nasi kucing” interaksi dengan masyarakat umum bisa terjadi.
Sebagai gambaran, biaya yang harus dikeluarkan tamu umum juga cukup murah, hanya Rp 1,2 juta
per malam. Harga untuk 4 kamar dan seluruh fasilitas yang ada atau hanya sekitar Rp. 300.000 per
kamar. Sedangkan untuk teman-teman, sahabat dan saudara cukup mengisi kencleng saja.
M
dipakai untuk pertemuan keluarga, acara ulang tahun, arisan
alah satu bangunan yang difungsikan sebagai café,
Sabtu dan malam Minggu menjadi acara refr
entang penulis (redaksi)
Sampai saat ini n’deZzo sering
keluarga, rapat-rapat perusahaan, pelatihan, perpisahan murid-murid SMA, bahkan tempat
berkumpulnya keluarga pengantin/besan. Jika sedang tidak ada tamu, kadang-kadang malam
Minggu dimanfaatkan untuk silaturahmi dengan
tetangga sambil bermain keroncong. Mereka bilang
waktu serasa berhenti ditempat ini, bila sambil
mendendangkan langgam-langgam keroncong.
S
buka hanya pada malam Sabtu dan malam Minggu
saja, karena terbatasnya tenaga.karena hari-hari lain
kembali ke profesi asal. Menu yang ada di cafe adalah
menu yang mudah untuk disajikan seperti steak,
spaghetti, nasi goreng, cream soup, minuman dingin
dan panas. Walaupun belum menggembirakan jumlah
pengunjungnya, tapi acara “jaga warung” di malam
eshing buat aku dan suamiku
T
lumni Jurusan Arsitektur. Ia lebih akrab dipanggil dengan nama Woro.
Ia menikah dengan Iman Syahadat dan dikaruniai 2 putra Bayu & Bondan. Saat menuliskan kisah
ini, Woro menjabat sebagai direktur PT Rekagriya Multikarya.
Woro Anjokrowati adalah a